Rabu, 28 Desember 2011

Ilmuwan: Ada Dua Bulan yang Mengitari Bumi


Pada 2006 lalu, astronom menangkap keberadaan obyek misterius, berwarna putih titanium, mengitari Bumi, namanya RH120. Awalnya, para ahli mengasumsikannya sebagai roket.

Namun, perkiraan itu salah. Benda itu ternyata sebuah asteroid kecil yang tertangkap medan gravitasi Bumi. Ia berotasi di sekeliling Bumi hingga Juni 2007.

Sebuah studi yang dipublikasikan astrofisikawan Cornell University mengklaim, kejadian itu bukan anomali. Sebab, ada banyak asteroid yang datang dan pergi. Ini berarti, planet kita selalu memiliki satelit kedua, meski secara temporer.

Astrofisikawan Cornell, Mikael Granvik, Jeremie Vaubaillon, dan Robert Jedicke mengaku, mereka telah mengalkulasi populasi "satelit alami tak teratur yang secara temporer ditangkap oleh Bumi".

Dalam paper riset berjudul, 'The population of natural Earth satellites', para astronom mengatakan, meski bulan yang ditemukan kecil, implikasi ilmiah penemuan ini sangat fenomenal.

"Pada waktu tertentu, ada setidaknya satu lagi satelit alami berdiameter 1  meter yang mengorbit Bumi," demikian paparan tim peneliti yang dipublikasikan situs Cornell University.

Meski asteroid yang mengorbit Bumi relatif kecil, berukuran hanya beberapa meter, mereka bisa dikualifikasikan sebagai satelit alami, seperti halnya Bulan.

Mengapa temuan ini disebut fenomenal?

Untuk diketahui, asteroid bisa jadi sumber bencana bagi umat manusia di masa depan. Penting bagi ilmuwan untuk meneliti karakteristiknya, agar bisa ditangani.

Dengan penelitian ini -- di mana diketahui ada asteroid yang terjebak gravitasi Bumi, para astronom punya pilihan yang lebih murah untuk mempelajari asal usul tata surya -- ketimbang mengirimkan misi ke asteroid yang jauh.

Meskipun NASA tidak bisa mendarat di sebuah asteroid yang hanya berukuran beberapa meter itu, namun Badan Antariksa itu bisa mendekatinya untuk mengumpulkan banyak informasi.
Sumber: 
http://teknologi.vivanews.com/news/read/274149-ilmuwan--ada-dua-bulan-yang-mengitari-bumi

Nikmatilah Stres, Karena Tak Punya Stres Bisa Bahaya! Knp?


Stres tinggi dikenal sebagai biang segala penyakit, namun stres tidak semuanya buruk. Stres tetap dibutuhkan dalam kadar yang tepat untuk dapat merangsang sistem otak. Jarang terkena stres juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan.

Kehidupan yang bebas dari stres sering dianggap sangat membahagiakan dan menyehatkan. Tapi nyatanya stres juga bisa menyehatkan otak. Maka itu nikmatilah beberapa stres yang muncul agar terhindari dari bahaya kesehatan.

Menurut penelitian terbaru seperti dilansir Time, Sabtu (24/12/2011), orang yang paling bahagia dan sehat adalah orang yang memiliki setidaknya beberapa paparan stres dan pengalaman negatif.

Meski banyak penyakit yang dipicu atau diperparah dengan tingkat stres yang tinggi, namun stres tidak semuanya buruk. Stres dalam kadar sedang tetap diperlukan untuk perkembangan tubuh yang sehat. Yang berbahaya adalah stres dengan kadar besar dan tidak berkendali, terutama di usia awal kehidupan.

Tinjauan baru menambahkan bukti bahwa sistem otak berfungsi sama seperti otot, harus diperkuat melalui latihan secara bertahap dengan meningkatkan beban pada tahap pembangunan yang tepat.
Sumber:
http://forum.vivanews.com/aneh-dan-lucu/259391-nikmatilah-stres-karena-tak-punya-stres-bisa-bahaya-knp.html

Salawat Dedaunan


Masjid itu hanyalah sebuah bangunan kecil saja. Namun, jika kau memperhatikan, kau akan segera tahu usia bangunan itu sudah sangat tua. Temboknya tebal, jendelanya tak berdaun—hanya lubang segi empat dengan lengkungan di bagian atasnya. Begitu juga pintunya, tak berdaun pintu. Lantainya menggunakan keramik putih—kuduga itu baru kemudian dipasang, karena modelnya masih bisa dijumpai di toko-toko material.
Masjid itu kecil saja, mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 orang berjemaah.
Namun, halaman masjid itu cukup luas. Dan di hadapan bangunan masjid itu tumbuh pohon trembesi yang cukup besar. Mungkin saja usianya sudah ratusan tahun. Mungkin saja si pembangun masjid ini dulunya berangan-angan betapa sejuknya masjid ini di siang hari karena dinaungi pohon trembesi. Mungkin saja begitu.
Begitu besarnya pohon trembesi itu, dengan dahan dan cabangnya yang menjulur ke segala arah, membentuk semacam payung, membuat kita pun akan berpikir, masjid ini memang dipayungi trembesi. Cantik sekali.
Namun, masjid ini sepi. Terutama jika siang hari. Subuh ada lima orang berjemaah, itu pun pengurus semua. Maghrib, masih lumayan, bisa mencapai dua saf. Isya… hanya paling banyak lima orang. Begitu setiap hari, entah sejak kapan dan akan sampai kapan hal itu berlangsung.
Bagi Haji Brahim, keadaan itu merisaukannya. Sejak, mungkin, 30 tahun lalu dia dipercaya untuk menjadi ketua masjid, keadaan tidak berubah. Bahkan, setiap Jumat, jumlah jemaah, paling banyak 45 orang. Pernah terpikirkan untuk memperluas bangunan, tetapi dana tak pernah cukup. Mencari sumbangan tidak mudah, dan Haji Brahim tak mengizinkan pengurus mencari sumbangan di jalan raya—sebagaimana dilakukan banyak orang. ”Seperti pengemis saja…,” gumamnya. Seiring dengan berjalannya waktu, maka pikiran untuk memperluas bangunan itu tinggal sebagai impian saja. Kas masjid nyaris berdebu karena kosong melompong. Dan itu pula sebabnya masjid itu tak bisa memasang listrik, cukup dengan lampu minyak.
Daun-daun trembesi berguguran setiap hari, seperti taburan bunga para peziarah makam. Buah-buahnya yang tua berserakan di halaman. Satu-dua anak memungutnya, mengeluarkan biji-bijinya yang lebih kecil daripada kedelai itu, menjemurnya, menyangrai, dan menjadikannya camilan gurih di sore hari. Jelas tak ada orang yang secara khusus menyapu halaman setiap hari.
Terlalu luas untuk sebuah pekerjaan gratisan. Semua maklum, termasuk Haji Brahim.
***
Suatu siang, seusai shalat Jumat, ketika orang-orang sudah lenyap semua entah ke mana, Haji Brahim dan dua pengurus lainnya masih duduk bersila di lantai masjid. Haji Brahim masih berzikir sementara dua orang itu tengah menghitung uang amal yang masuk hari itu.
”Tiga puluh ribu, Pak,” ucap salah seorang seperti protes pada entah apa.
”Alhamdulilah.”
”Dengan yang minggu lalu, jumlahnya 75.000. Belum cukup untuk beli cat tembok.”
”Ya, sudah… nanti kan cukup,” ujar Haji Brahim tenang.
Sesaat ketika kedua orang itu akan berdiri, di halaman dilihatnya ada seorang nenek tua tengah menyapu pandang. Haji Brahim pun menoleh dan dilihatnya nenek itu dengan badan bungkuk, tertatih mendekat.
”Alaikum salam… nek,” jawab salah seorang pengurus, sambil mengangsurkan uang 500-an.
Tapi si nenek diam saja. Memandangi si pemberi uang dengan pandangannya yang tua.
”Ada apa?” tanya Haji Brahim, seraya mendekat.
”Saya tidak perlu uang. Saya perlu jalan ampunan.”
Sesaat ketiga pengurus masjid itu terdiam. Angin bertiup merontokkan dedaunan trembesi. Satu dua buahnya gemelatak di atap.
”Silakan nenek ambil wudu dan shalat,” ujar Haji Brahim sambil tersenyum.
Nenek itu diam beberapa saat. Tanpa berkata apa pun, dia kemudian memungut daun yang tergeletak di halaman. Daun itu dipungutnya dengan kesungguhan, lalu dimasukkannya ke kantong plastik lusuh, yang tadi dilipat dan diselipkan di setagen yang melilit pinggangnya. Setelah memasukkan daun itu ke kantong plastik, tangannya kembali memungut daun berikutnya. Dan berikutnya. Dan berikutnya….
Ketiga orang itu ternganga. Sesaat kemudian, karena melihat betapa susah payahnya si nenek melakukan pekerjaan sederhana itu, salah seorang kemudian mendekat dan membujuk agar si nenek berhenti. Tapi si nenek tetap saja memunguti daun-daun yang berserakan, nyaris menimbun permukaan halaman itu.
Haji Brahim dan seorang pengurus kemudian ikut turun dan mengambil sapu lidi.
”Jangan… jangan pakai sapu lidi… dan biarkan saya sendiri melakukan ini.”
”Tapi nanti nenek lelah.”
”Adakah yang lebih melelahkan daripada menanggung dosa?” ujar si nenek seperti bergumam.
Haji Brahim tercekat. Ada sesuatu yang menyelinap di sanubarinya.
Dilihatnya si nenek kembali memungut dan memungut daun-daun itu helai demi helai. Dan, demi mendengar apa yang tergumam dari bibir tua itu, Haji Brahim menangis.
Dari bibirnya tergumam kalimat permintaan ampun dan sanjungan kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Pada setiap helai yang dipungut dan ditatapnya sesaat dia menggumamkan ”Gusti, mugi paringa aksama. Paringa kanugrahan dateng Kanjeng Nabi.” Sebelum dimasukkannya ke kantong plastik.
Haji Brahim tergetar oleh kepolosan dan keluguan si nenek. Di matanya, si nenek seperti ingin bersaksi di hadapan ribuan dedaunan bahwa dirinya sedang mencari jalan pengampunan.
***
Hari bergulir ke Magrib. Dan si nenek masih saja di tempat semula, nyaris tak beranjak, memunguti dedaunan yang selalu saja berguguran di halaman. Tubuh tuanya yang kusut basah oleh keringat. Napasnya terengah-engah. Ketiga orang itu tak bisa berbuat lain, kecuali menjaganya. Ketika maghrib tiba, dan orang-orang melakukan sembahyang, si nenek masih saja memunguti dedaunan.
”Siapa dia?” bisik salah seorang jemaah kepada temannya, ketika mereka meninggalkan masjid. Tentu saja tak ada jawaban, selain ”entah”.
”Nek, istirahatlah… ini sudah malam.”
”Kalau bapak mau pulang, silakan saja… biarkan saya di sini dan melakukan ini semua.”
”Nek, mengapa nenek menyiksa diri seperti ini?”
”Tidak. Saya tidak menyiksa diri. Ini… mungkin bahkan belum cukup untuk sebuah ampunan,” ucapnya sambil menghapus air matanya.
Haji Brahim terdiam. Mencoba mereka-reka apa yang telah diperbuat si nenek di masa lalunya.
***
Malam itu, Haji Brahim pulang cukup larut karena merasa tak tega meninggalkan si nenek. Pengurus masjid yang semula akan menunggui, sepulang Haji Brahim, ternyata juga tak tahan. Bahkan, belum lagi lima menit Haji Brahim pergi, dia diam-diam pulang.
Tak ada yang tahu apakah si nenek tertidur atau terjaga malam itu. Begitu subuh tiba, Mijo yang akan azan Subuh mendapati si nenek masih saja melakukan gerakan yang sama. Udara begitu dingin. Beberapa kali si nenek terbatuk.
***
Peristiwa si nenek itu ternyata mengundang perhatian banyak orang. Mereka berdatangan ke masjid. Niat mereka mungkin ingin menyaksikan si nenek, tetapi begitu bertepatan waktu shalat masuk, mereka melakukan shalat berjemaah. Tanpa mereka sadari sepenuhnya, masjid itu jadi semarak. Orang datang berduyun-duyun, membawa makanan untuk si nenek, atau sekadar memberinya minum. Dan, semuanya selalu berjemaah di masjid.
Dua hari kemudian, tepat ketika kumandang waktu Ashar terdengar, si nenek tersungkur dan meninggal. Orang-orang terpekik, ada yang mencoba membawanya ke puskesmas, tetapi entah mengapa tak jadi.
Hari itu juga polisi datang. Karena semua orang tak tahu siapa keluarga si nenek, akhirnya diputuskan si nenek dimakamkan di halaman belakang masjid.
Ketika semua orang sibuk, Haji Brahim tercekat. Dia tiba-tiba merasa sunyi menyergapnya. Dia menyapu pandang, ada yang aneh di matanya. Dedaunan yang berserak itu lenyap. Halaman masjid bersih. Menghitam subur tanahnya, seperti disapu, dan daun yang gugur ditahan oleh jaring raksasa hingga tak mencapai tanah.
Sudut mata Haji Brahim membasah. ”Semoga kau temukan jalanmu, nek,” gumamnya.
Dan ketika semua orang, yang puluhan jumlahnya itu, secara bersamaan menemukan apa yang dipandang Haji Brahim, mereka ternganga. Bagaimana mungkin halaman masjid bisa sebersih seperti itu.
***
Lama setelah kisah itu sampai kepadaku, aku tercenung. Rupanya, menurut Haji Brahim kepadaku, nenek itu hadir mungkin sebagai contoh. ”Mungkin juga dia memang berdosa besar—sesuai pengakuannya kepada saya,” ucap Haji Brahim kepadaku beberapa waktu lalu. ”Dan… dia melakukan semacam istigfar dengan mengumpulkan sebanyak mungkin daun yang ada di halaman, mungkin begitu… saya tak yakin. Yang jelas, mata kami jadi terbuka. Sekarang masjid kami cukup ramai.”
”Pasti banyak yang mau menyapu halaman,” godaku.
”Iya… ha-ha-ha… benar.”
”Memangnya bisa begitu, Ji?”
”Maksudnya, ampunan Allah? Ya, saya yakin bisa saja. Allah maha-berkehendak, apa pun jika Dia berkenan, masak tidak dikabulkan?” ucap Haji Brahim tenang.
Aku terdiam. Kubayangkan dedaunan itu, yang jumlahnya mungkin ribuan helai itu, melayang ke hadirat Allah, membawa goresan permohonan ampun.
Sumber:
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/02/salawat-dedaunan/#more-1456

Batas Tidur


Jika hendak tamasya, kami akan pergi ke batas tidur, tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas. Benda-benda, gedung, gunung, laut, pohon, dan ternak terangkat, namun tetap terpegang erat di tempatnya. Kicau burung, suara serangga, dan desau angin, jernih dan jelas sumbernya. Bisikan-bisikan menjadi percakapan nan merdu.
Sebelum berangkat kami akan berkumpul di lembah Astungkara, di hamparan yang kami sebut campuhan, terbentuk oleh pertemuan dua sungai: Tukad Telagawaja dan Tukad Tugtugan. Orang-orang memercayai, campuhan adalah lembah suci, tempat mencari keheningan dan pelepasan. Seorang guru akan membimbing kami, menyodorkan ajakan dan kepastian, ke wilayah mana kami akan tamasya.
Tak seorang pun tahu asal Sang Guru. Kami mengenalnya begitu kami mulai berkumpul di lembah Astungkara, kemudian memanggilnya Guru Tung, yang sehari-hari sibuk mengurus kebun, beristirahat di gubuk beratap alang-alang, dengan tiang-tiang dan sekat bilik dari kayu. Orang-orang kemudian menyebut tempat itu sebagai pedukuhan Astungkara.
Jika hendak tamasya, di pedukuhan itu kami berbaring terlentang menatap angkasa, memusatkan lamunan pada bintang-bintang dengan rentang sekian juta tahun cahaya. Beberapa tergolek nyaman di bawah pohon wani, jambu, mangga, atau durian. Yang lain terbaring begitu saja di atas rumput sehingga sekujur tubuh berselimut embun. Ada yang nyaman telentang dalam bilik atau di emperan pondok yang menghadap ke sungai. Jika sudah siap, Guru Tung memberi aba-aba dengan helaan napas supaya kami bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bersua dengan kosong sejati.
Dalam kosong kami bisa mendengar detik-detik terakhir kami di bumi, saat berada persis pada batas gelap dan terang, pada sekat tipis wilayah gemuruh dan sunyi. Batas-batas itu oleh Guru Tung diajarkan kepada kami sebagai peralihan antara terjaga dan tidur. ”Semua orang bisa memilih saat hendak istirahat tidur. Tapi, tak seorang tahu detik ketika ia tertidur,” ujar Guru. ”Siapa pun yang bisa meraih detik ketika tertidur, ia akan tetap terjaga, rohnya melayang bisa melihat raga sendiri. Niscaya ia bisa memilih saat melepas roh dari raga untuk mati.”
Kami pun dibimbing untuk menguasai aji batas tidur, ilmu sederhana tapi bukan main sulit mendapatkannya. Kami diminta memejamkan mata, mengintip dengan perasaan dan khayalan, saat-saat menjelang tidur, sehingga bisa menyadari detik terakhir terjaga. Tapi, yang sering terjadi justru kami terlelap tanpa tahu jam dan detik berapa kami tertidur.
Kendati kami belum menguasai ilmu batas tidur, Guru Tung selalu dengan senang hati membantu kami melepas roh dari raga, sehingga kami bisa tamasya melayang-layang seringan kapas. Raga yang kami tinggalkan di bawah pohon, dalam bilik, di hamparan rumput, tak boleh dipindahkan dari kedudukannya. Jika digeser, roh tak bisa kembali memasuki raga, matilah orang itu. Biasanya kami meminta bantuan satu atau beberapa orang untuk tidak ikut tamasya, bertugas menjaga ketetapan posisi jasad kami, karena siapa tahu tiba-tiba ada yang berkunjung, bingung melihat kami terserak ketiduran, lalu menggoyang-goyang dan menggeser raga kami untuk membangunkan.
Guru Tung bercita-cita menciptakan rumus aji batas tidur agar mudah dikuasai dan dihayati kapan pun oleh siapa saja. Seperti rumus Phytagoras yang memudahkan orang membuat sudut sembilan puluh derajat setelah membuat kuadrat sisi miring sama dengan jumlah kuadrat sisi siku-siku. Menurut Guru Tung, karena kematian adalah kepastian, ia bisa dijabarkan dengan matematika.
Jika banyak orang menguasai aji batas tidur, orang sakit parah tak tersembuhkan tak perlu sengsara karena bisa memilih hari kematian yang diinginkan tinimbang minum obat mahal tak kunjung menyembuhkan dan terus memiskinkan. Tak akan ada orang digencet sakit hati dan putus asa tewas gantung diri atau menenggak racun, karena ia akan memilih mati teduh lewat batas tidur. Kematian bukan lagi maut yang seram menakutkan dan merepotkan, namun sebuah pilihan yang kapan pun bisa diselesaikan sesuai keinginan, bisa dihitung seperti bilangan.
Pedukuhan Astungkara pun jadi terkenal, dikunjungi banyak orang dari berbagai benua dan pelosok negeri, datang belajar untuk mati dengan pertolongan ilmu batas tidur. Bule-bule banyak di sini, membuat iri para pemilik wisata spiritual di hotel dan vila dengan menu tapa-yoga-semadi, karena ditinggalkan peminat. Tapi, sedikit orang asing yang bisa ikut tamasya dengan bimbingan Guru Tung karena sebagai pelancong, waktu mereka sempit, tergesa-gesa, tak pernah sanggup bersujud pada sepi, gagal memohon pada sunyi dan hening, untuk masuk ke dalam kosong. Di antara kami yang berhasil adalah Dingkling, seorang terpidana mati yang divonis tujuh tahun lalu. Karena berkelakuan sangat baik, ia sering diizinkan bermalam di pedukuhan Astungkara, dibimbing Guru Tung ikut tamasya bersama ke batas tidur.
Tadi malam Dingkling datang ke pedukuhan, dan akan menjadi malamnya yang terakhir karena dini hari ia akan berhadapan dengan regu tembak. Ketika ditanya permintaan terakhir sebelum dieksekusi, dengan gembira ia menjawab, ”Izinkan saya mampir ke pedukuhan Astungkar, untuk mendapat doa restu Guru Tung dan murid-muridnya.”
Kami merayakan perpisahan itu dengan tamasya bersama ke batas tidur. Dingkling memilih berbaring menatap angkasa raya di bawah pohon leci, di antara rentang akar-akar yang menyembul ke atas tanah. Dua sipir siaga menjaganya penuh awas. Kami yang menemani Dingkling tamasya segera masuk ke dalam kosong. Tubuh pun melayang-layang, terayun-ayun seringan kapas, benda-benda terangkat mengambang.
Menjelang dini hari, dua sipir itu membangunkan Dingkling, menggoyang-goyang tubuhnya. Ketika Dingkling tak juga bergerak, sipir itu panik. ”Kita angkat ke dalam, ayo!” teriak sipir yang kurus, setengah menyeret tubuh diam itu.
Kami terjaga, secepatnya kembali dari tamasya. Bergegas kami bangkit dari tempat masing-masing di atas rumput dan bawah pohon, menghambur ke dalam bilik. Guru menatap tubuh Dingkling yang lunglai di ubin. Kami saling pandang karena tahu Dingkling tak bakal kembali. Ia meninggal dalam tamasya batas tidur karena sipir memindahkan raganya dari bawah pohon leci ke dalam bilik. ”Ikhlaskan, mari kita berdoa, Dingkling sudah pergi dengan damai,” ujar Guru. Dua orang sipir itu ternganga, tak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada komandan karena kelalaian mereka membuat regu tembak yang sudah siaga urung bertugas.
Berita terpidana hukuman mati tewas di pedukuhan Astungkara beberapa jam menjelang eksekusi menjadi berita besar, disiarkan televisi berulang-ulang, merambat cepat lewat pesan singkat telepon seluler. Menjelang petang, gerombolan orang riuh di depan pedukuhan. Beberapa orang mengacungkan kelewang, selebihnya menggenggam batu yang diambil dari sungai, siap dilempar ke pondok. Ada yang mengacung-acungkan obor. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” jerit mereka galak berulang-ulang.
Kami gemetar, namun pasrah dan mencoba tenang. Sudah sejak lama berembus kabar, penghuni pedukuhan Astungkara tengah menekuni ajaran sesat. Orang-orang sangat meyakini itu karena yang datang ke tempat kami adalah kaum terbuang, manusia-manusia yang dikucilkan karena depresi menderita sakit tak tersembuhkan. Banyak yang dikenal sebagai pemadat, mantan preman, pemakai narkoba yang kemudian mengidap AIDS, sengsara menunggu ajal. Sekarang, para penuduh itu punya kesempatan melampiaskan amarah, berdesak-desak hiruk-pikuk sampai di tepi sungai, berteriak-teriak kasar menantang dan mengumbar bermacam tuduhan. Empat pemimpin mereka berdiri di pintu pagar pepohonan. Kami masuk bilik menemui guru yang duduk bersila di lantai.
”Biarkan mereka masuk, sekarang saat menunjukkan siapa kita,” ujar Guru lembut, tenang, dan bersahaja.
Empat pemimpin itu memasuki halaman, kami menyongsong mereka dengan memaksakan keberanian.
”Mana Pak Pektung?!” teriak pemimpin yang mengenakan destar melecehkan nama Guru, dengan bibir sinis menyeringai. Seingat kami, dia salah seorang tokoh yang punya vila dengan wisata spiritual tapa-yoga-semadi.
”Katakan pada gurumu, jangan memelihara iblis dan setan!” seru pemimpin yang bersarung.
”Dosa besar kalau gurumu mengajarkan tentang semesta kepada kalian, namun tak menyebut-nyebut kebesaran Tuhan,” ujar pemimpin yang mengenakan jas dan berdasi.
Pemimpin yang berkepala gundul menghampiri kami sembari berujar dengan datar, ”Gurumu boleh-boleh saja jadi pemimpin, tapi jangan menyesatkan umat.”
Tapi, pengikut empat pemimpin ini sungguh sangar dan berlumur dengki. ”Bakarrrrr…! Bunuhhhhh…!” teriak mereka sengit merangsek maju menerobos pagar tanaman. Nyala obor yang diacung-acungkan kian terang karena petang akan sempurna, hari sebentar lagi malam. Kami masuk ke pondok diikuti empat pemimpin itu. Di dalam, kami tercengang, guru tak ada lagi. Kami hanya menemukan onggokan abu di tempat Guru tadi bersila.
Lelaki berdestar dan pemimpin bersarung tertawa terbahak menyaksikan onggokan abu itu. Mungkin mereka menduga itu abu sisa pemujaan. Mereka berdua maju dan menendang gundukan abu itu berulang-ulang sembari terus terbahak. Lengking tawa bercampur gulungan debu beterbangan memenuhi bilik. Abu terserak ke mana-mana.
Tiba-tiba cahaya terang benderang menyilaukan menyergap, seperti usai gemuruh dentuman ledakan bom. Kami terperangkap dalam kilatan dahsyat cahaya, tak sanggup melihat apa pun, harus secepatnya memejamkan mata karena silau cahaya benderang itu akan merusak kornea. Kami tahu yang seharusnya kami lakukan: segera telentang di lantai, tangan bersedekap di dada, menghadap ke atap, mencoba masuk ke dalam kosong, agar segera melayang masuk angkasa. Kami melihat Guru berdiri. ”Sekarang mereka tahu siapa kita,” ujar Guru pelan.
Guru Tung pernah bercerita, seseorang yang sempurna menguasai aji batas tidur, jika memilih saat untuk mati, ia akan mengeluarkan energi panas membakar raga sendiri jadi abu. Setelah itu, ia akan menjadi seberkas cahaya yang bisa menampakkan diri, sanggup bercakap-cakap dengan siapa saja, kapan pun ia mau. Kami mengerti, Guru Tung telah menjadi cahaya, moksa. Aji batas tidur adalah jalan pelepasan, menuju pembebasan yang sempurna, hidup kekal abadi. Dan yang tidak paham ketika berhadapan dengan peristiwa pelepasan akan terbakar, seperti empat pemimpin itu. Mereka menjerit-jerit keluar halaman pedukuhan, menggelepar-gelepar menahan panas pada mata, buta, karena kornea mereka binasa oleh sergapan kilatan benderang cahaya. Telinga mereka mendenging, tuli. Kerongkongan tercekat oleh hawa panas, akan membuat mereka gagap dan terbata-bata kalau bicara.
Setelah peristiwa petang itu, jika hendak bertemu Guru Tung, kami akan telentang menatap angkasa, memusatkan lamunan pada bintang-bintang jutaan tahun cahaya, bersujud pada sunyi, memohon pada hening dan sepi, agar bisa bersua dengan kosong sejati. Kami akan terus di campuhan ini, meresapi aji batas tidur, agar bisa memilih sendiri hari mati.
Sumber:
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/23/batas-tidur/#more-1469