Rabu, 28 Desember 2011

Liburan yang Gagal


Dani  ngambek. Sampai siang dia tidak mau makan. Ibunya sudah membujuknya  berkali-kali. Tapi Dani tetap mengurung diri di kamar. Ia membenamkan  mukanya ke dalam bantal. Kalau ada suara yang memanggil namanya, ia  pura-pura tidak mendengar. Saat pintu kamarnya diketuk, dia pura-pura  tidur.
    “Ayo,  Dani. Makan dulu. Trus mandi. Sebentar lagi Kakek dan Nenek datang lho.”  Suara Ibu memanggil dari luar kamar. Dani tidak menjawab. Tangannya  malah menutup telinganya rapat-rapat.
    “Jangan ngambek terus dong.” Dani tetap tidak menyahut.
    Sepi. Rupanya  Ibu pasti sibuk menyiapkan sesuatu untuk menyambut kakek dan nenek.
    “Pokoknya aku akan terus ngambek.”  Desis Dani. Hampir saja dani bangkit, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk lagi.
“Dan, buka dong pintunya. Kakak bawa pesenanmu lho.”
     “Ha! Itu kan suara Kak Sofi.” Dani segera bangkit dari baringnya. Ia  berpikir sejenak. Buka pintu nggak ya? Kalau di buka, berarti acara  ngambekku gagal. Tapi kalau tidak kubuka…
    “Ya sudah kalau tidak mau, tamiyanya kakak kasih ke Rido aja, ya.”
    Diberikan ke Rido? Anak sebelah rumah yang bandel itu? Waduh!
    “Iya, Kak! Sebentar.”  Dani menyerah, karena ia tidak ingin kehilangan tamiya barunya.
     Klek! Pintu terbuka. Senyuman riang muncul dari wajah Kak Sofi.  Sebuah bungkusan yang dihias pita cantik disodorkan tepat di depan wajah  Dani. Dengan cepat Dani ingin merebut bungkusan itu, namun ternyata Kak  Sofi jauh lebih cepat menariknya.
    “Kak Sofi boleh masuk nggak?” tanyanya menggoda.
    “Iya, deh!” Dani pun membiarkan kakak satu-satunya masuk ke kamarnya yang berantakan.
    “Kenapa sih Dan, kok sampe ngembek segala?”
    Dani mengerucutkan bibir, menariknya ke kanan dan ke kiri. Matanya menunduk, menatap lantai dengan malas.
     “Habis aku nggak jadi ke Banyuwangi. Padahal liburan ini Ayah dan  Ibu sudah berjanji akan mengajak ke rumah Paman Andi naik kereta. Aku  juga sudah janjian dengan Roki mau bermain-main lagi ke pantai. Ee…  tiba-tiba kakek dan nenek datang. Aku kan nggak jadi liburan kalau  begini. Semuanya gagal gara-gara mereka!”
    “Kakek dan nenek ke sini karena kangen sama Dani. Mereka sayang banget lo.”
     “Kalau mereka sayang, seharusnya tidak datang hari ini, dong. Biar  aku bisa liburan ke Banyuwangi. Kak Sofi tahu kan, aku pengen banget  naik kereta.”
    Kak Sofi menarik nafas panjang. Mengelus kepala Dani dengan lembut.
     “Teman-temanku di sekolah semua sudah berlibur ke tempat yang jauh  di luar kota. Mereka pasti akan bertanya tentang liburanku.” Dani  menumpahkan kekesalannya kepada Kak Sofi.
    “Trus, Dani mau ngambek sampai kapan?”
    Dani terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
    Klek!! Pintu terbuka. Wajah Ibu menyembul di balik daun pintu.
    “Ayo, keluar. Kakek dan nenek sudah datang.”
    Tangan Sofi menarik lengan Dani. Tapi Dani menolaknya.
    “Jangan begitu, Dan. Kasihan mereka, jauh-jauh datang kemari.”
    “Salah mereka sendiri, aku kan gak minta mereka datang.”
    “Kalau begitu, tamiya ini tidak jadi kakak berikan.”
    “Terserah!”
     Kak Sofi meninggalkan kamar. Menemui Kakek dan Nenek di ruang  tengah. Terdengar suara yang ramai dari ruang tengah. Dani semakin sebal  dengan semua orang di rumahnya. Seandainya di rumah Roki, pasti aku  sudah ke pantai. Membuat gunung pasir atau berenang di laut lepas.
     Terdengar suara dari perutnya. Lapar. Yah, dari pagi Dani memang belum  makan. Mau keluar, Dani terlanjur malu. Kalau tidak keluar, perutnya  semakin perih. Gimana, ya?
    “Da..an!” Suara Ibu terdengar lagi. “Ada telepon dari Roki.”
    Haa..?! Roki telpon? Dengan cepat Dani melempar gulingnya ke lantai. Segera ia berlari ke raung tengah.
    “Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikum salam. Eh, untung kalian tidak jadi ke Banyuwangi.” Suara Roki terdenngar lega.
    “Memangnya kenapa? Aku saja sebel nggak jadi naik kereta  ke rumahmu.”
    “Ya, justru itu. Kereta yang seharunya kau naiki tergelincir  dari rel. Banyak lo yang terluka.”
    “Benarkah?”
    “Iya,kalau tidak percaya lihat saja di televisi.”
    Dani merasa lututnya lemas. Dia membayangkan kereta terguling dan penumpang terjatuh dengan banyak luka. Pasti mengerikan!
    “Katanya Kakek dan Nenek di situ, ya?”
    “Iya.” Suara Dani melemah.
    “Wah, seneng dong dikunjungi mereka. Aku juga kangen dengan mereka.”
    Dani bingung mau menjawab apa. Padahal sejak mendengar kedatangan Kakek dan Nenek, Dani sudah tidak suka.
    “Sudah, ya Dan. Salam buat Kakek dan Nenek.Assalamu’alaikum.”
    “Wa’alaikum salam.” Tangan Dani gemetar meletakkan telepon.
    Sebelum badannya berbalik, sebuah tangan memegang bahu kanan Dani. Dani takut menoleh.
    “Dani, ingin berlibur, ya.” Suara Kakek terdengar lembut.
     Dani tetap tidak menoleh. Mata Dani memanas, menembus kaca jendela  di depannya. Dia merasa bersalah telah memperlakukan Kakek dan Nenek  dengan tidak baik.
    “Maafkan, Dani Kek. Seharusnya Dani  berterimakasih dengan kedatangan Kakek dan Nenek. Kalau tidak, tentu  Dani  dan yang lainnya akan celaka.” Dani pun menangis terisak dalam  pelukan Kakek.
    Tangan Kakek menepuk pundak Dani berkali-kali.
     “Sekarang Dani tahu, kan. Tidak semua yang kita inginkan itu baik  untuk kita. Dan tidak yang semua yang kita benci buruk untuk kita. “
    Dani pun mengangguk mengerti.  Ia segera menemui nenek dan meminta maaf.
Ah,,  ternyata liburan memang tidak harus  pergi ke tempat yang jauh. Di  manapun kita bisa mengisi liburan dengan menyenangkan. Termasuk di  rumah. Dani tak lagi sedih, apalagi Roki dan keluarganya memutuskan akan  datang ke rumahnya. Pasti liburan ini semakin menyenangkan Dani.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar